Monday 28 April 2014

Cerpen : Mimpi Habibie

Aku mengesat peluh yang ada di keningku. Pekerjaan ini benar-benar melelahkan dan menguras tenaga. Mengangkut berkilo-kilo beras dari truk ke dalam gudang bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Namun semuanya kujalani dengan semangat, karena tentu saja ada upahnya walaupun mungkin upahnya tidak seberapa. Hal ini kulakukan untuk membantu ekonomi keluargaku yang serba kekurangan. Ayahku hanyalah seorang petani yang bergantung pada beberapa petak tanah miliknya . Oleh karena itu, aku dan saudara-saudaraku di waktu luang sering bekerja serabutan di pasar untuk membantu mencari uang.
Aku duduk di kelas 8 SMPN di pinggiran Sleman, tepatnya di Gamping. Aku bisa dibilang termasuk siswa yang pintar di kelasku bahkan di sekolahku (bukan bermaksud sombong, lho !). Aku sering diikutkan berbagai lomba dan alhamdulillah biasanya menang. Hadiahnya kuberikan kepada ibuku, lumayan untuk menambah uang untuk belanja rumah tangga. Semua itu kulakukan untuk membantu kedua orang tuaku dan agar aku bisa terus sekolah dan ke Jerman seperti Pak Habibie. Itulah mimpiku. Mimpi yang selalu ditertawakan oleh teman-temanku yang lain tetapi selalu didukung oleh bapak dan ibu guru yang melihat bakat terpendam dalam diriku (cieeeh..!).
*******
Suatu hari, aku sedang membantu membawakan dagangan seorang pedagang baju ketika melihat seseorang mencopet pedagang yang kubantu itu. Aku pun berteriak dengan sangat keras “Copet !!!” Sontak saja si pencopet kaget dan lari. Aku menurunkan barang dagangan yang kubawa dan mengejarnya. Sepertinya, para pengunjung pasar sedang melotot memperhatikan aksi heroikku, pikirku (keGR-an banget, ya !). Sebenarnya beberapa pengunjung pasar ikut berlari mengejar sang pencopet. Jadi bukan hanya aku yang dipelototi. Hihihi…
Jarak antara aku dan sang pencopet makin dekat. Aku pun melompat dan memeluk erat kakinya yang tentu saja membuatnya jatuh. Aku mengambil kembali dompet pedagang itu dan menyerahkan sang pencopet kepada satpam yang tiba-tiba saja datang entah dari mana (jangan-jangan satpamnya punya ilmu gaib. Serem.. ! Eh, nggak boleh su’udzon dong ! ).
Aku kembali ke pedagang tadi dan mengembalikan dompetnya serta meneruskan membawa barang dagangannya. Pedagang itu mengucapkan ribuan terima kasih dan kemudian mengajakku ngobrol seperti namanya siapa, tinggal di mana dll. Aku pun balik bertanya juga. Nama si pedagang adalah Pak Somad, ia pedagang baju dari Kota Jogja.
Kemudian ia memberikan upah membawakan barang dagangannya serta memberiku bonus atas jasaku mengembalikan dompetnya. Aku menolak bonusnya tetapi Pak Somad memaksa sehingga aku pun menerimanya. Setelah mengucapkan terima kasih, aku pun pulang. Kejadian ini akan selalu kuingat, terutama karena kebaikan hati Pak Somad yang memberiku bonus Rp 100.000 yang mungkin bagi kalian semua kecil tetapi bagi keluargaku cukup besar. Mulutku pun selalu mengucap alhamdulillah sepanjang jalan pulang. Itu memang selalu kulakukan jika mendapat rezeki yang banyak.
******
“Eh, si ‘Pak Habibie’ dah datang, nih !” sindir teman-temanku saat aku memasuki kelasku, 8A. Aku pura-pura nggak denger aja, alias tidak menghiraukan perkataan mereka.
Aku menghempaskan badanku dengan keras ke kursi yang membuat teman sebangku sekaligus sahabatku, Arif yang sedang makan permen terkejut dan latah menyebut “bawang ee bawang !”. Lucu juga sih. Hehehe…Lihat saja, dia mendengus menatapku dan ngomel-ngomel nggak jelas karena permennya terbuang begitu saja. I’m sorry, Arif !
Kemudian Pak Anas yang merupakan guru IPA masuk kelas. Pelajaran pun dimulai. Aku memperhatikan Pak Anas menerangkan materi dengan sungguh-sungguh karena IPA adalah pelajaran kesukaanku. Tetapi yang terpenting adalah aku tidak ingin mengecewakan kedua orang tuaku yang telah bersusah payah membiayai sekolahku.
Kring…! Bel istirahat berbunyi. Anak-anak berhamburan keluar kelas. Ada yang ke kantin, perpustakaan, toilet dan semau mereka asalkan tidak keluar dari lingkungan sekolah seperti yang tercantum di Peraturan Sekolah No. 17 Pasal 5 Ayat 2 (emangnya ada ?! Kayaknya rumit banget ya teman-teman !) Sementara itu, Pak Anas menyuruhku mengikutinya ke kantor kepala sekolah alias kepsek. Jantungku pun berdebar tak karuan. Sesampainya di ruang kepsek, Pak Anas mengetuk pintu dan sebuah suara yang kukenali sebagai suara pak kepsek menyuruh masuk. Aku dan Pak Anas pun masuk dan duduk di kursi.
“Habibie, seperti yang kamu tahu, kamu lolos OSN Fisika di tingkat provinsi sehingga kamu berhak mengikuti OSN di tingkat nasional. Lombanya akan diadakan dua minggu lagi di Jakarta. Pak Anas akan mendampingi kamu selama lomba itu. Dipersiapkan baik-baik ya nak ! Kamu akan menjadi wakil DIY dan bertarung dengan wakil dari 33 provinsi lainnya. Bapak yakin kamu pasti bisa !” Ucap pak kepsek panjang kali lebar kali alas kali tinggi (itu mah rumus matematika ya ! But, rumus bangun apa itu ?!). Aku pun mengangguk-anggukan kepala saja.
Oya, aku lupa bilang. Dua minggu yang lalu aku memang mengikuti OSN Fisika di tingkat provinsi. Dua minggu sebelumnya lagi aku mengikuti OSN Fisika di tingkat kabupaten/kota. Karena aku meraih juara satu di tingkat provinsi, aku lolos ke nasional. Yes ! Aku akan memberitahu ayah dan ibu nanti !
*******
Dengan begitu banyaknya persiapan untuk OSN dan ditambah pelajaran-pelajaran yang masih kuikuti, tak terasa dua minggu dengan cepat terlewati. Aku ke Jakarta menaiki pesawat Garuda Indonesia bersama Pak Anas. Di hari keberangkatan, sayangnya orang tuaku tidak bisa ikut mengantar ke bandara Adisucipto. Sebenarnya aku ingin mereka ikut melepas keberangkatanku tetapi sebagai anak yang baik aku menghargai keputusan mereka. Lagipula, ayahku harus bekerja di sawah dan ibuku harus mencuci serta menyetrika pakaian tetangga. Pukul 10.00 tepat akhirnya pesawat yang kutumpangi lepas landas setelah mengalami delay selama satu jam karena cuaca buruk. Di awal perjalanan, pesawat tergoncang-goncang karena cuaca di luar masih lumayan buruk walau lebih baik dibandingkan tadi. Aku sibuk berdoa agar diberi keselamatan. Setelah itu, pesawat pun terbang dengan mulus karena cuaca sudah cerah kembali.
Sesampainya di sana, kami pergi ke hotel yang telah disediakan. Aku pun bergabung dengan peserta-peserta lain dari seluruh provinsi tanah air. Lomba akan dilaksanakan besok. Malamnya, aku sibuk merapal mantra, eh salah ! Maksudnya sibuk menghafalkan rumus fisika dan mengerjakan latihan soal dibantu Pak Anas.
Besoknya, aku dan peserta yang lain pun memasuki ruang lomba. Jantungku berdetak sangat keras sampai aku sendiri kaget. Dalam beberapa belas menit kemudian, aku sudah terbuai dalam mengerjakan soal-soal fisika. Setelah itu, diberi ujian praktek yang bisa kulakukan dengan baik. Pengumuman akan diumumkan besok.
“Dan inilah pemenang OSN Fisika tingkat nasional juara tiga si ‘Fulan’ dari Jawa Barat, juara dua si ‘Fulanah’ dari Sumatera Selatan, dan juara satu adalah…. Muhammad Habibie Ilham dari DIY !” Ucap sang MC tanpa jeda. Aku pun menangis terharu. Aku pun naik ke panggung dan menerima trofi, sertifikat, dan juga uang beasiswa sebesar Rp. 5.000.000,00 dari Bapak B.J. Habibie dan Bapak Presiden RI secara langsung ! Wow ! Seperti mimpi rasanya.
*******
Esoknya, aku dan Pak Anas pulang ke Jogja. Di bandara, para wartawan sudah menunggku kedatanganku. Aku sampai capek menjawab pertanyaan mereka. Sekarang, aku baru tahu bagaimana rasanya menjadi selebriti atau artis. Kemudian kami melaju ke sekolahku. Pak Kepsek memberi sambutan dan ucapan selamat. Aku lalu pulang ke rumah dengan hati yang senang.
Di rumah, aku segera mengetuk pintu. Tetapi tidak ada jawaban. Tetangga sebelah rumahku memberiku kabar mengejutkan. Ibuku sakit sehingga dirawat di rumah sakit. Tanpa banyak bicara, aku mengucapkan terima kasih dan segera berlari ke jalan raya dan naik bus menuju ke rumah sakit. Dalam sepuluh menit aku sudah sampai di sana. Aku segera bertanya kepada suster yang menjaga di kamar mana ibuku dirawat. Lalu aku bergegas menuju ke sana.
Di kamar rawat ibuku, aku menemukan ayah dan saudaraku yang lain. Mata mereka terlihat sembap. Rupanya ibuku mengidap penyakit usus buntu. Penyakit itu harus segera ditangani, tetapi tim dokter tidak mau sebelum kami membayar uang muka. Aku sampai geram membayangkan betapa rumah sakit ini tidak mengutamakan menyelamatkan nyawa pasien kurang mampu.
Aku pun memberitahu ayahku bahwa aku menang OSN itu. Uangnya rencananya untuk biaya sekolahku dan saudaraku tetapi kesehatan ibuku lebih penting dan yang paling utama. Ayah pun segera membayar uang muka sekaligus seluruh biaya pengobatan ibu. Alhamdulillah uangnya cukup. Ibu pun segera ditangani oleh tim medis sementara kami menunggu di luar sambil berdoa. Beberapa jam kemudian dokter keluar dari ruangan dan mengabarkan bahwa keadaan ibu sudah membaik dan boleh dijenguk. Kami pun secara bersamaan menarik napas lega. Beberapa hari kemudian setelah dirawat secara intensif, ibu pun boleh pulang.
*******
Setelah seminggu, ibu mulai pulih kembali. Tetapi keadaan makin sulit karena ibu sudah lama tidak bekerja dan ayah juga sehingga tidak ada uang. Malamnya, ayah mengajak aku dan seluruh saudaraku yaitu Tio, Radit, Ivan, Ismail, dan Raihan.
“Nak, ayah sebelumnya minta maaf. Tetapi kalian terpaksa untuk berhenti sekolah karena ayah tidak punya uang lagi, nak. Ayah minta maaf.” Aku sangatlah terkejut mendengar berita ini. Sedangkan saudaraku yang lain terlihat tidak terkejut. Mungkin ayah sudah membicarakan ini bersama mereka sebelumnya.
“Tapi, …” Aku tidak bisa melanjutkan kalimatku. Aku pun mengerti akan keputusan ayah. Tetapi sangatlah sayang jika aku berhenti sekolah.
Besoknya, aku dan saudaraku mulai tidak sekolah. Kami bekerja di pasar, apa saja asalkan halal. Di pasar aku bertemu kembali dengan Pak Somad yang bertanya dengan heran “Kamu tidak sekolah nak ?”
“Tidak, pak. Saya sudah berhenti sekolah karena ayah saya nggak punya uang lagi. Jadi saya harus bekerja membantu meringankan beban orang tua.” Pak Somad tampak berpikir sesuatu.
“Bapak ingin membalas kebaikanmu dulu, nak ! Bapak ingin membiayai kamu, Habibie, agar kamu bisa terus sekolah. Jadi, maukah kamu menunjukkan jalan ke rumahmu agar bapak bisa berbincang dengan ayahmu ?” Aku langsung berbinar mendengar perkataan beliau dan cepat-cepat mengangguk.
Kami pun berjalan ke rumahku. Sesampainya di rumahku, untunglah ayah sudah pulang dari sawah. Pak Somad dan ayah pun berbincang serius.
“Habibie, ayahmu setuju aku membiayai sekolahmu. Kamu akan bersekolah lagi di sekolahmu yang lama mingu depan. Bersiap ya nak!”
“Alhamdulillah, terima kasih banyak Pak Somad, terima kasih.”Aku dan ayah terus mengucapkan terima kasih. Begitulah, setiap kebaikan akan dibalas dengan kebaikan pula.
Akhirnya, aku berhasil sekolah hingga kuliah di UMY. Selain dibiayai oleh Pak Somad, aku juga mengikuti berbagai lomba dan berbisnis diajari oleh Pak Somad. Aku pun menjadi pengusaha sukses dan dapat membahagiakan orang tuaku. Kemudian aku meraih beasiswa S2 di Jerman, sesuai impianku. Aku mengambil jurusan teknik pesawat seperti Pak Habibie. Aku pun menjadi seorang teknisi pesawat. Bisnisku aku berikan kepada Pak Somad sebagai ucapan terima kasih. Kita harus selalu berbakti kepada orang tua dan berbuat kebaikan pada siapapun, di manapun dan kapan pun.

No comments: