Raden Mas Soewardi Soerjaningrat
(EYD : Suwardi Suryaningrat,
sejak 1972 menjadi Ki Hadjar Dewantara,
EYD: Ki Hajar Dewantara,
beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar Dewantoro; lahir di
Yogyakarta, 2 Mei 1889 – meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada
umur 69 tahun, selanjutnya disingkat sebagai "Soewardi" atau
"KHD") adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis,
politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan
Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang
memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak
pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari
Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani,
menjadi slogan Kementerian pendidikan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan
sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara.
Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun emisi
1998.
Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI,
Soekarno, pada 28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia
No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959).
Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan
pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda).
Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah
Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja
sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden
Java, De
Expres, Oetoesan
Hindia, Kaoem
Moeda, Tjahaja
Timoer, dan Poesara. Pada masanya,
ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan
semangat antikolonial.
Selain ulet sebagai seorang wartawan
muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun
1908, ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah
kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai
pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres
pertama BO di Yogyakarta juga
diorganisasi olehnya.
Soewardi muda juga menjadi anggota
organisasi Insulinde, suatu
organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang
memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika
kemudian DD mendirikan Indische Partij, Soewardi diajaknya
pula.
Sewaktu pemerintah Hindia Belanda
berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan
kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun
1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia
kemudian menulis "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau
"Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga". Namun kolom KHD
yang paling terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul
asli: "Als ik een Nederlander was"), dimuat dalam surat kabar De
Expres pimpinan DD, 13 Juli 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali
di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain
sebagai berikut.
"Sekiranya
aku seorang Belanda, aku tidak
akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas
sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak
adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan
sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja
sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan
saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang
terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan
bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada
kepentingan sedikit pun baginya".
Beberapa pejabat Belanda menyangsikan
tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri karena gaya bahasanya yang
berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia yang menulis,
mereka menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk menulis
dengan gaya demikian.
Akibat tulisan ini ia ditangkap atas
persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan
diasingkan ke Pulau Bangka (atas
permintaan sendiri). Namun demikian kedua rekannya, DD dan Tjipto
Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga
diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga
Serangkai". Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi
aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan
Hindia).
Di sinilah ia kemudian merintis
cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga
memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang
kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya.
Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan
Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta
pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga
Tagore.
Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem
pendidikannya sendiri.
Soewardi kembali ke Indonesia pada
bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan
saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan
konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut
Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40
tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti
namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar
kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat
dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang
dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh,
semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing
ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. ("di
depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi
dorongan"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat
Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.
Dalam kabinet pertama Republik
Indonesia, KHD diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia (posnya
disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama.
Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris
causa, Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah
Mada. Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, ia
dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya
dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun
1959, tanggal 28 November 1959).
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Hadjar_Dewantara
No comments:
Post a Comment