Aku duduk di kelas 8 SMPN di pinggiran Sleman, tepatnya di Gamping. Aku
bisa dibilang termasuk siswa yang pintar di kelasku bahkan di sekolahku (bukan
bermaksud sombong, lho !). Aku sering diikutkan berbagai lomba dan alhamdulillah
biasanya menang. Hadiahnya kuberikan kepada ibuku, lumayan untuk menambah uang
untuk belanja rumah tangga. Semua itu kulakukan untuk membantu kedua orang tuaku
dan agar aku bisa terus sekolah dan ke Jerman seperti Pak Habibie. Itulah
mimpiku. Mimpi yang selalu ditertawakan oleh teman-temanku yang lain tetapi
selalu didukung oleh bapak dan ibu guru yang melihat bakat terpendam dalam
diriku (cieeeh..!).
*******
Suatu hari, aku sedang membantu membawakan dagangan seorang pedagang baju
ketika melihat seseorang mencopet pedagang yang kubantu itu. Aku pun berteriak
dengan sangat keras “Copet !!!” Sontak saja si pencopet kaget dan lari. Aku
menurunkan barang dagangan yang kubawa dan mengejarnya. Sepertinya, para
pengunjung pasar sedang melotot memperhatikan aksi heroikku, pikirku (keGR-an
banget, ya !). Sebenarnya beberapa pengunjung pasar ikut berlari mengejar sang
pencopet. Jadi bukan hanya aku yang dipelototi. Hihihi…
Jarak antara aku dan sang pencopet makin dekat. Aku pun melompat dan
memeluk erat kakinya yang tentu saja membuatnya jatuh. Aku mengambil kembali
dompet pedagang itu dan menyerahkan sang pencopet kepada satpam yang tiba-tiba
saja datang entah dari mana (jangan-jangan satpamnya punya ilmu gaib. Serem.. !
Eh, nggak boleh su’udzon dong ! ).
Aku kembali ke pedagang tadi dan mengembalikan dompetnya serta meneruskan
membawa barang dagangannya. Pedagang itu mengucapkan ribuan terima kasih dan
kemudian mengajakku ngobrol seperti namanya siapa, tinggal di mana dll. Aku pun
balik bertanya juga. Nama si pedagang adalah Pak Somad, ia pedagang baju dari
Kota Jogja.
Kemudian ia memberikan upah membawakan barang dagangannya serta memberiku
bonus atas jasaku mengembalikan dompetnya. Aku menolak bonusnya tetapi Pak
Somad memaksa sehingga aku pun menerimanya. Setelah mengucapkan terima kasih,
aku pun pulang. Kejadian ini akan selalu kuingat, terutama karena kebaikan hati
Pak Somad yang memberiku bonus Rp 100.000 yang mungkin bagi kalian semua kecil
tetapi bagi keluargaku cukup besar. Mulutku pun selalu mengucap alhamdulillah
sepanjang jalan pulang. Itu memang selalu kulakukan jika mendapat rezeki yang
banyak.
******
“Eh, si ‘Pak Habibie’ dah datang, nih !” sindir teman-temanku saat aku
memasuki kelasku, 8A. Aku pura-pura nggak denger aja, alias tidak menghiraukan
perkataan mereka.
Aku menghempaskan badanku dengan keras ke kursi yang membuat teman sebangku
sekaligus sahabatku, Arif yang sedang makan permen terkejut dan latah menyebut
“bawang ee bawang !”. Lucu juga sih. Hehehe…Lihat saja, dia mendengus menatapku
dan ngomel-ngomel nggak jelas karena permennya terbuang begitu saja. I’m sorry, Arif !
Kemudian Pak Anas yang merupakan guru IPA masuk kelas. Pelajaran pun
dimulai. Aku memperhatikan Pak Anas menerangkan materi dengan sungguh-sungguh
karena IPA adalah pelajaran kesukaanku. Tetapi yang terpenting adalah aku tidak
ingin mengecewakan kedua orang tuaku yang telah bersusah payah membiayai
sekolahku.
Kring…! Bel istirahat berbunyi. Anak-anak berhamburan keluar kelas. Ada
yang ke kantin, perpustakaan, toilet dan semau mereka asalkan tidak keluar dari
lingkungan sekolah seperti yang tercantum di Peraturan Sekolah No. 17 Pasal 5
Ayat 2 (emangnya ada ?! Kayaknya rumit banget ya teman-teman !) Sementara itu,
Pak Anas menyuruhku mengikutinya ke kantor kepala sekolah alias kepsek.
Jantungku pun berdebar tak karuan. Sesampainya di ruang kepsek, Pak Anas
mengetuk pintu dan sebuah suara yang kukenali sebagai suara pak kepsek menyuruh
masuk. Aku dan Pak Anas pun masuk dan duduk di kursi.
“Habibie, seperti yang kamu tahu, kamu lolos OSN Fisika di tingkat provinsi
sehingga kamu berhak mengikuti OSN di tingkat nasional. Lombanya akan diadakan
dua minggu lagi di Jakarta. Pak Anas akan mendampingi kamu selama lomba itu.
Dipersiapkan baik-baik ya nak ! Kamu akan menjadi wakil DIY dan bertarung
dengan wakil dari 33 provinsi lainnya. Bapak yakin kamu pasti bisa !” Ucap pak
kepsek panjang kali lebar kali alas kali tinggi (itu mah rumus matematika ya ! But, rumus bangun apa itu ?!). Aku pun
mengangguk-anggukan kepala saja.
Oya, aku lupa bilang. Dua minggu yang lalu aku memang mengikuti OSN Fisika
di tingkat provinsi. Dua minggu sebelumnya lagi aku mengikuti OSN Fisika di
tingkat kabupaten/kota. Karena aku meraih juara satu di tingkat provinsi, aku
lolos ke nasional. Yes ! Aku akan
memberitahu ayah dan ibu nanti !
*******
Dengan begitu banyaknya persiapan untuk OSN dan ditambah
pelajaran-pelajaran yang masih kuikuti, tak terasa dua minggu dengan cepat
terlewati. Aku ke Jakarta menaiki pesawat Garuda Indonesia bersama Pak Anas. Di
hari keberangkatan, sayangnya orang tuaku tidak bisa ikut mengantar ke bandara
Adisucipto. Sebenarnya aku ingin mereka ikut melepas keberangkatanku tetapi
sebagai anak yang baik aku menghargai keputusan mereka. Lagipula, ayahku harus
bekerja di sawah dan ibuku harus mencuci serta menyetrika pakaian tetangga.
Pukul 10.00 tepat akhirnya pesawat yang kutumpangi lepas landas setelah
mengalami delay selama satu jam
karena cuaca buruk. Di awal perjalanan, pesawat tergoncang-goncang karena cuaca
di luar masih lumayan buruk walau lebih baik dibandingkan tadi. Aku sibuk
berdoa agar diberi keselamatan. Setelah itu, pesawat pun terbang dengan mulus
karena cuaca sudah cerah kembali.
Sesampainya di sana, kami pergi ke hotel yang telah disediakan. Aku pun
bergabung dengan peserta-peserta lain dari seluruh provinsi tanah air. Lomba
akan dilaksanakan besok. Malamnya, aku sibuk merapal mantra, eh salah !
Maksudnya sibuk menghafalkan rumus fisika dan mengerjakan latihan soal dibantu
Pak Anas.
Besoknya, aku dan peserta yang lain pun memasuki ruang
lomba. Jantungku berdetak sangat keras sampai aku sendiri kaget. Dalam beberapa
belas menit kemudian, aku sudah terbuai dalam mengerjakan soal-soal fisika. Setelah
itu, diberi ujian praktek yang bisa kulakukan dengan baik. Pengumuman akan
diumumkan besok.
“Dan inilah pemenang OSN Fisika tingkat nasional juara tiga si ‘Fulan’ dari
Jawa Barat, juara dua si ‘Fulanah’ dari Sumatera Selatan, dan juara satu
adalah…. Muhammad Habibie Ilham dari DIY !” Ucap sang MC tanpa jeda. Aku pun menangis
terharu. Aku pun naik ke panggung dan menerima trofi, sertifikat, dan juga uang
beasiswa sebesar Rp. 5.000.000,00 dari Bapak B.J. Habibie dan Bapak Presiden RI
secara langsung ! Wow ! Seperti mimpi rasanya.
*******
Esoknya, aku dan Pak Anas pulang ke Jogja. Di bandara, para wartawan sudah
menunggku kedatanganku. Aku sampai capek menjawab pertanyaan mereka. Sekarang,
aku baru tahu bagaimana rasanya menjadi selebriti atau artis. Kemudian kami
melaju ke sekolahku. Pak Kepsek memberi sambutan dan ucapan selamat. Aku lalu
pulang ke rumah dengan hati yang senang.
Di rumah, aku segera mengetuk pintu. Tetapi tidak ada jawaban. Tetangga
sebelah rumahku memberiku kabar mengejutkan. Ibuku sakit sehingga dirawat di rumah
sakit. Tanpa banyak bicara, aku mengucapkan terima kasih dan segera berlari ke
jalan raya dan naik bus menuju ke rumah sakit. Dalam sepuluh menit aku sudah
sampai di sana. Aku segera bertanya kepada suster yang menjaga di kamar mana
ibuku dirawat. Lalu aku bergegas menuju ke sana.
Di kamar rawat ibuku, aku menemukan ayah dan saudaraku yang lain. Mata
mereka terlihat sembap. Rupanya ibuku mengidap penyakit usus buntu. Penyakit
itu harus segera ditangani, tetapi tim dokter tidak mau sebelum kami membayar
uang muka. Aku sampai geram membayangkan betapa rumah sakit ini tidak
mengutamakan menyelamatkan nyawa pasien kurang mampu.
Aku pun memberitahu ayahku bahwa aku menang OSN itu. Uangnya rencananya
untuk biaya sekolahku dan saudaraku tetapi kesehatan ibuku lebih penting dan
yang paling utama. Ayah pun segera membayar uang muka sekaligus seluruh biaya
pengobatan ibu. Alhamdulillah uangnya cukup. Ibu pun segera ditangani oleh tim
medis sementara kami menunggu di luar sambil berdoa. Beberapa jam kemudian
dokter keluar dari ruangan dan mengabarkan bahwa keadaan ibu sudah membaik dan
boleh dijenguk. Kami pun secara bersamaan menarik napas lega. Beberapa hari
kemudian setelah dirawat secara intensif, ibu pun boleh pulang.
*******
Setelah seminggu, ibu mulai pulih kembali. Tetapi keadaan makin sulit
karena ibu sudah lama tidak bekerja dan ayah juga sehingga tidak ada uang.
Malamnya, ayah mengajak aku dan seluruh saudaraku yaitu Tio, Radit, Ivan,
Ismail, dan Raihan.
“Nak, ayah sebelumnya minta maaf. Tetapi kalian terpaksa untuk berhenti
sekolah karena ayah tidak punya uang lagi, nak. Ayah minta maaf.” Aku sangatlah
terkejut mendengar berita ini. Sedangkan saudaraku yang lain terlihat tidak
terkejut. Mungkin ayah sudah membicarakan ini bersama mereka sebelumnya.
“Tapi, …” Aku tidak bisa melanjutkan kalimatku. Aku pun mengerti akan
keputusan ayah. Tetapi sangatlah sayang jika aku berhenti sekolah.
Besoknya, aku dan saudaraku mulai tidak sekolah. Kami bekerja di pasar, apa
saja asalkan halal. Di pasar aku bertemu kembali dengan Pak Somad yang bertanya
dengan heran “Kamu tidak sekolah nak ?”
“Tidak, pak. Saya sudah berhenti sekolah karena ayah saya nggak punya uang
lagi. Jadi saya harus bekerja membantu meringankan beban orang tua.” Pak Somad
tampak berpikir sesuatu.
“Bapak ingin membalas kebaikanmu dulu, nak ! Bapak ingin membiayai kamu,
Habibie, agar kamu bisa terus sekolah. Jadi, maukah kamu menunjukkan jalan ke
rumahmu agar bapak bisa berbincang dengan ayahmu ?” Aku langsung berbinar
mendengar perkataan beliau dan cepat-cepat mengangguk.
Kami pun berjalan ke rumahku. Sesampainya di rumahku, untunglah ayah sudah
pulang dari sawah. Pak Somad dan ayah pun berbincang serius.
“Habibie, ayahmu setuju aku membiayai sekolahmu. Kamu akan bersekolah lagi
di sekolahmu yang lama mingu depan. Bersiap ya nak!”
“Alhamdulillah, terima kasih banyak Pak Somad, terima kasih.”Aku dan ayah
terus mengucapkan terima kasih. Begitulah, setiap kebaikan akan dibalas dengan
kebaikan pula.
Akhirnya, aku berhasil sekolah hingga kuliah di UMY. Selain dibiayai oleh
Pak Somad, aku juga mengikuti berbagai lomba dan berbisnis diajari oleh Pak
Somad. Aku pun menjadi pengusaha sukses dan dapat membahagiakan orang tuaku.
Kemudian aku meraih beasiswa S2 di Jerman, sesuai impianku. Aku mengambil
jurusan teknik pesawat seperti Pak Habibie. Aku pun menjadi seorang teknisi
pesawat. Bisnisku aku berikan kepada Pak Somad sebagai ucapan terima kasih.
Kita harus selalu berbakti kepada orang tua dan berbuat kebaikan pada siapapun,
di manapun dan kapan pun.
No comments:
Post a Comment